Sabtu, 07 Januari 2012

PERCOBAAN (POGING)

PERCOBAAN (POGING)


OLEH                 :    IFAN FRIARGHI SEPDUNHA


         Suatu perbuatan biasanya merupakan sebuah proses, baik proses tersebut berlangsung dengan cepat maupun lambat. Demikian pula dengan perbuatan pidana atau tindak pidana dalam bentuk kejahatan. Di dalam proses tindak pidana yang merugikan seseorang terdapat suatu tahap yang sudah berbahaya meskipun proses itu belum selesai, dan tentu saja hukum tidak perlu menunggu sampai selesainya perbuatan yang merugikan seseorang tersebut. Di sinilah pentingnya diatur tentang lembaga percobaan di dalam hukum pidana.   

         Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut Poging, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum selesai atau belum sempurna. Sudah barang tentu walaupun KUHP telah merumuskan berbagai jenis kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk masing-masing, hukum pidana tidak mengambil resiko agar kejahatan tidak terjadi sepenuhnya, atau akibatnya KUHP juga mengancam perbuatan yang baru merupakan permulaan, agar dapat dicegah terjadinya korban.

         Akan tetapi, tentu saja tidak segala macam pelanggaran hukum yang baru dalam taraf pemula atau percobaan diancam dengan pidana. Ancaman pidana hanya ditujukan kepada kejahatan bukan pada pelanggaran seperti tercantum dalam Pasal 54 KUHP yang    berbunyi : Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana.  

         Namun ternyata bahwa tidak semua kejahatan bentuk percobaannya di ancam dengan pidana. Ada sejumlah kecil kejahatan yang bentuk percobaannya tidak diancam pidana, antara lain dalam Pasal 184 tentang perkelahian tanding, Pasal 302 tentang Penganiayaan hewan, dan Pasal 351-352 tentang Penganiayaan.

         Untuk menjawab pertanyaan mengapa kejahatan yang baru pada taraf permulaan sudah di ancam dengan pidana, kecuali jawaban umum yang mengatakan bahwa pencegahan lebih baik daripada menunggu sampai terjadi korban, terdapat dua teori yaitu :

1.      teori subjektif yang mendasarkan pada pikiran bahwa orangnya atau pelakunya yang secara potensial berbahaya;
2.      teori objektif yang mendasarkan pada pikiran bahwa perbuatannya yang secara potensial berbahaya.


A.      UNSUR-UNSUR PERCOBAAN


                   Pasal 53 mengandung 3 unsur percobaan yaitu :

         1.      Adanya niat;

                            Di dalam teks bahasa Belanda niat ini adalah “voornemen” yang menurut doktrin tidak lain adalah kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan, dan ini meliputi semua ataupun dengan sadar kemungkinan. Namun menurut Vos yang dimaksud dengan kesengajaan di sini adalah hanya kesengajaan sebagai maksud.

                   Keterangan :

                            Adanya kehendak atau niat, berkenaan dengan syarat ini timbul suatu persoalan oleh karena kata kehendak dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP tersebut menunjukkan kepada pengertian opzet. Opzet ditinjau dari sudut tingkatannya meliputi opzet dalam arti sempit dan opzet dalam arti luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kata kehendak dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP tersebut menunjukkan opzet dalam arti sempit yang terdiri dari opzet sebagai tujuan, atau opzet dalam arti luas yang terdiri dari :

                   a.      opzet sebagai tujuan;
                   b.      opzet akan kesadaran akan tujuan;
                   c.      opzet dengan kesadaran akan kemungkinan.

         2.      Adanya permulaan pelaksanaan;

                            Kehendak atau niat saja belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana, sebab jika hanya berkehendak saja, maka orang itu tidak diancam pidana, berkehendak adalah bebas. Permulaan pelaksanaan berarti telah terjadinya perbuatan tertentu dan ini mengarah kepada perbuatan yang disebutkan sebagai delik. Walaupun kelihatannya sederhana, ternyata jika dikaji lebih mendalam akan menimbulkan kesulitan yang cukup besar untuk menafsirkan dengan tepat pengertian permulaan pelaksanaan itu.

a.         pertama permulaan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan atau voorbereidingshandeling;
b.         kedua apakah permulaan pelaksanaan itu “permulaan pelaksanaan dari kehendak’ ataulah ‘permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.

                            Di sini lalu timbul berbagai pendapat dan teori. Teori-teori ini berusaha untuk memberikan batas atau menentukan batas perbuatan persiapan yang tidak dapat dipidana, dan permulaan pelaksanaan dapat dipidana sesuai dengan unsur percobaan tersebut. Tetapi di mana batasnya ?
                   Sebagai contoh : X hendak membunuh Y, untuk itu ia telah melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
                  
a.         meminjam atau membeli senjata api dengan pelurunya;
b.         membawa senjata api itu pulang ke rumah;
c.          memnyimpan senjata api itu;
d.         membuat rencana bagaimana menyelesaikan kehendaknya itu;
e.         membawa senjata api itu ke rumah Y;
f.           mengisi senjata api itu dengan peluru;
g.         menunggu sampai Y keluar dari rumah;
h.         mengarahkan senjata api ke arah Y;
i.           menarik picu senjata api untuk menembak Y;
j.           kebetulan pelurunya macet, senjata tidak berbunyi.

                            Pada saat itulah X diketahui orang lain dan ditangkap. Dimanakah permulaan pelaksanaan pembunuhan itu ditempatkan ?

                            Bagi mereka yang menganut teori subjektif murni, semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam percobaan, sebab menurut teori ini orangnya yang sangat berbahaya. Sedangkan bagi pendukung teori objektif pastilah hanya perbuatan-perbuatan yang sudah mengarah pada adanya bahaya yang dimasukkan ke dalam percobaan.

                            Van Hamel, penganut teori subjektif, mengatakan bahwa permulaan pelaksanaan itu ada jika dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan perbuatannya. Simons, penganut teori objektif, membedakan untuk delik pelaksanaan terjadi bila perbuatannya merupakan sebagian dari perbuatan terlarang, sedangkan  untuk delik material, permulaan pelaksanaan ada bila perbuatan itu sifatnya sedemikian rupa sehingga secara langsung menimbulkan akibat yang terlarang.

         3.      Tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata karena kehendak sendiri.

                            Di dalam hal ini MvT menyatakan bahwa maksud surat ketika itu adalah untuk memberikan jaminan kepada seorang yang dengan kehendak sendiri, dengan sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai. Untuk ketika itu harus dicantumkan di dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh penuntut umum.


B.      DELIK PUTATIF DAN MANGEL AM TATBESTAND

                   Akibat masih perlu sedikit dibicarakan hal-hal yang di dalam kepustakaan barat sering disinggung yaitu delik putatif dan mangel am tatbestand.

         1.      Delik Putatif

                            Delik putatif sebenarnya bukan merupakan delik ataupun percobaan untuk melakukan delik itu, melainkan merupakan kesalahpahaman dari seseorang yang mengira bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan terlarang, tetapi ternyata tidak diatur di dalam perundang-undangan pidana. Delik putatif perundang-undangan pidana sendiri-sendiri untuk perbuatan yang sama. Misalnya saja seorang yang menyimpan obat dengan pidana. Di sini tidak dapat dipidanya orang tersebut adalah karena memang tidak ada ketentuan pidana yang melarang.

         2.      Mangel At Tatbestand
        
                            Artinya adalah kekurangan unsur jadi, kekurangan unsur tindak pidana yang dilakukan, juga karena adanya kesalahpahaman, bukan karena tidak adanya undang-undang, tetapi karena dalam keadaan tertentu ada salah satu unsurnya (yang disangka ada oleh pelaku) yang tidak terpenuhi. Misalnya saja seorang yang mengira telah mencuri barang milik orang lain, teteapi ternyata bahwa barang itu milik sendiri, karena oleh orang pemiliknya sebenarnya barang itu memang dihadiahkan kepadanya.

C.     TEORI POGING

         1.      Teori Poging Subjektif
                           
                            Menurut teori ini suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan dan oleh karena itu telah dapat dipidana, apabila dalam diri si pelaku telah menunjukkan sikap maupun tabiat yang menunjukkan kehendak yang kuat untuk melakukan tindak pidana.

         2.      Teori Poging Objektif

                            Menurut teori ini suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan tersebut telah membahayakan kepentingan hukum.

D.     POGING YANG TIDAK MUNGKIN (ONDEUGDELIJK POGING)

                   Yang dimaksud dengan hal ini adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang dilakukan dengan sarana yang tidak memiliki potensi untuk menimbulkan akibat, misalnya saja niat untuk membunuh dilakukan dengan cara mendoakan.

                   Tidak mungkinnya atau tidak dapatnya kejahatan itu, diselesaikannya dapat disebabkan oleh objeknya akan tetapi juga mungkin dengan sasarannya. Ketidakmungkinan itu dapat dibagi menurut sifatnya yaitu :

1.          Mutlak tidak mampu;
2.          Relatif tidak mampu.

Karenanya dikenal empat bentuk ketidakmungkinan sebagai penyebab dari tidak selesainya suatu kejahatan yaitu :

1.          alatnya tidak mampu secara mutlak;
2.          alatnya tidak mampu secara relatif;
3.          sasarannya tidak mampu secara mutlak;
4.          sasarannya tidak mampu secara relatif;

                   Persoalan sekarang apakah percobaan yang tidak mampu dalam setiap bentuk dapat dipidana atau tidak. Pada suatu percobaan di mana alatnya atau sasarannya tidak mampu tidak terjadinya kejahatan tersebut secara sempurna adalah karena alat atau sasarannya tidak mampu.

        

1 komentar:

  1. Casino & Racetrack - Chicago, IL - Mapyro
    Find septcasino the best 논산 출장안마 gaming & entertainment 세종특별자치 출장마사지 near Casino & Racetrack in Chicago IL. 전라남도 출장샵 Completely 익산 출장마사지 free of charge. Map & Directions.

    BalasHapus